TIMES CIREBON, JAKARTA – Konfrontasi militer di era kontemporer tidak lagi menjadi ujung tombak dalam lanskap keamanan internasional, regional, maupun nasional. Hal ini ditandai dengan bergesernya perubahan ancaman menjadi kombinasi yang kompleks.
Misalnya kekuatan militer, rekayasa realitas, perang siber, tekanan ekonomi, dan eksploitasi isu sosial politik menjadi satu. Kombinasi ancaman tersebut bersatu dan kemudian menjadi dimensi gabungan yang dapat memporak-porandakan stabilitas keamaann negara yang dituju.
Karakter ancaman hibrida, menimbulkan paradoks terhadap keamanan suatu negara. Artinya, semakin keras negara dalam memperkokoh pertahanan, maka akan semakin banyak juga tantangan yang mencuat di area non-konvensional. Dengan demikian, tidak ada pertahanan yang bersifat absolut.
Ancaman asimetris dalam konteks hibrida akan melumat kekuatan pertahanan sebesar apapun jika hanya berfokusi pada konvensional. Hal tersebut tetap akan mempengaruhi stabilitas negara yang tidak memiliki intrumen antitesa dari ancaman hibrida. Inilah yang kemudian disebut sebagai paradoks keamanan di era ancaman hibrida.
Kompleksitas Geopolitik
Pada dimensi global, bisa dilihat invasi Rusia ke Ukraina, jauh sebelum penggunaan kekuatan militer dan alat perang konvensional, Rusia sudah menggunakan serangan dalam bentuk propaganda digital dengan menyebarluaskan berita-berita palsu.
Ini merupakan strategi untuk memecah titik fokus Ukraina agar dapat membingungkan opini public global. Selain itu, serangan siber juga dilakukan oleh Rusia dengan melakukan spionase digital, perusakan data hingga penyerangan terhadap infrastruktur telekomunikasi sebagai salah satu pertahanan vital Ukrraina.
Kemudian di Kawasan Asia Pasifik, Tiongkok menggunakan “gray zona conflictI” sebagai strategi konflik untuk memberikan gertakan dengan cara melakukan pengarahan terhadap kapal nelayan maupun penjaga pantai untuk mengakui wilayah secara perlahan. Ini merupakan taktik untuk menghindari gesekan secara langsung, tetapi tetap memberikan efek kewaspadaan bagi negara-negara seperti Vietnam, Filipina, maupun Indonesia.
Kemudian di Indonesia sendiri, kasus semacam propaganda, disinformasi sudah terjadi. Ini bukan lagi bicara tentang teori melainkan ini realitas. Misalnya kelompok separatis yang berasal dari Organisasi Papua Merdeka (OPM), aktif dalam menyebarkan narasi mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan desakan kemerdekaan.
Ini menjadi isu yang mem-framing peristiwa local seperti aksi unjuk rasa, ketegangan dan konflik antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), sampai dengan isu rasisme, Hal ini menyudutkan Indonesia sekaligus memberikan peluang kepada negara asing untuk invasi ke Indonesia dengan memanfaatkan konflik nasional yang terjadi.
Indonesia sangat rentan terhadap ancaman hibrida. Mengapa demikian? Indonesia merupakan salah satu negara dengan pengguna internet terbesar di dunia. Ancamannya adalah literasi digital masyarakat yang rendah mengakibatkan hoaks, disinformasi, ujaran kebencian menyebar dengan mudah. Akhirnya sebelum berperang dengan negara lain, Indonesia sudah terpecah belah.
State Craft dan Tantangan Indonesia
Ancaman Hibrida menjadi tantangan besar bagi Indonesia. Ini menjadi fenomena yang, mengacu pada istilah “state craft” yang berarti bagaimana pemerintah suatu negara dapat mengelola pemerintahannya dari berbagai aspek seperti strategi, kebijakan, keputusan politik, hubungan internasional hingga pertahanan dan keamanan baik secara konvensional maupun non-konvensional untuk merespon segala ancaman yang dapat menggangu stabilitas negara.
Saat Prabowo terpilih menjadi presiden memunculkan ekspektasi besar terhadap system pertahanan dan kemanan negara Indonesia. Hal tersebut dikarenakan latar belakang militer yang melekat dalam dirinya.
Namun, Indonesia sedang menghadapi ancaman yang multidimensi dengan karakter yang manipulative, sabotase digital, diam tapi sistematis. Ini menjadi ujian kepemimpinannya yang bukan hanya menguasai kekuatan tempur, tetapi juga mampu melihat dan mengidentifikasi terhadap ancaman yang akan datang.
Di tengah meningkatnya kompleksitas ancaman hibrida di era global saat ini, pemerintahan Presiden Prabowo dihadapkan pada keharusan untuk merancang strategi yang tidak hanya reaktif, tetapi juga berorientasi pada masa depan.
Salah satu agenda mendesak adalah melakukan revisi terhadap kebijakan pertahanan nasional agar lebih selaras dengan perubahan bentuk ancaman yang akan datang. Pendekatan tradisional yang hanya mengandalkan kekuatan militer fisik kini tidak lagi mencukupi.
Sebaliknya, Indonesia membutuhkan kerangka strategi yang mampu mengintegrasikan unsur digital, ekonomi, informasi, dan ideologi secara menyeluruh, sehingga semua lini keamanan nasional dapat berfungsi secara sinergis dalam mengidentifikasi serta mengatasi potensi ancaman yang bersifat tidak langsung dan tersembunyi.
Persatuan politik keamanan dan pertahanan sangat dibutuhkan. institusi terkait harus diintegrasikan sebagai kolaborasi kepentingan nasional mulai dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), maupun pihak terkait untuk memperkuat fondasi pertahanan dan keamanan agar tidak mudah untuk disusupi.
Di sisi lain, penguatan terhadap sistem informasi nasional menjadi hal yang sangat krusial. Dalam konteks ancaman hibrida, arus informasi sering kali dijadikan alat untuk memecah belah masyarakat, menggiring opini yang salah, dan merusak legitimasi pemerintah.
Negara perlu memastikan ekosistem informasi yang sehat dengan cara memperkuat media yang dapat dipercaya, mendorong peningkatan literasi digital di berbagai lapisan masyarakat, serta mengatur lalu lintas informasi di ruang digital agar tidak menjadi lahan subur bagi penyebaran hoaks maupun ujaran kebencian.
Semua upaya ini perlu dijalankan secara cermat dan tetap menjunjung nilai-nilai demokrasi, agar perlindungan terhadap kebebasan berpendapat tidak justru membuka celah bagi disintegrasi.
***
*) Oleh : Muh. Asdar Prabowo, Mahasiswa Magister Strategi Perang Semesta Fakultas Strategi Pertahanan Universitas Pertahanan RI.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Paradoks Keamanan di Era Ancaman Hibrida
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |