TIMES CIREBON, GUNUNGKIDUL – Dengan semangat gotong royong dan cinta terhadap warisan leluhur, ratusan warga Padukuhan Dondong, Kalurahan Jetis, Kapanewon Saptosari, Kabupaten Gunungkidul menggelar Festival Telaga 2025 pada Minggu (27/4/2025).
Mengusung tema "Telaga: Heritage Hidup dan Menghidupi", festival ini menjadi wujud nyata pelestarian budaya dan ekologi di tengah tantangan perubahan zaman.
Acara ini merupakan hasil kolaborasi antara warga Padukuhan Dondong, Komunitas Resan Gunungkidul, Ikatan Pemuda Pemudi Dondong (IPPD), serta mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Sanata Dharma.
Festival Telaga Gunungkidul 2025 tidak sekadar menjadi ajang seremonial, melainkan sebuah upaya konkret untuk menghidupkan kembali sumber air yang menjadi tumpuan hidup masyarakat.
Bupati Gunungkidul, Endah Subekti Kuntariningsih, melakukan penanaman pohon di tepaian Telaga Dondong, Minggu, 27/4/2025. (Foto: Eko Susanto/TIMES Indonesia)
Rangkaian kegiatan Festival Telaga Gunungkidul 2025 sudah dimulai sejak Sabtu (26/4/2025) dengan beragam acara seperti Camping ekologi di tepian telaga Dondong, Pentas Warga, pementasan Musik Lestari, workshop wayang kardus bersama Komunitas Wayang merdeka, Serta Pasar kuliner oleh warga di tepian Telaga Dondong.
Pada puncak acara, Minggu (27/4/2025) hari ini, sejak pagi ratusan warga sudah berdatangan di sekitaran telaga untuk terlibat pada festival yang baru pertama kali ini diadakan di padukuhan tempat mereka tinggal.
Acara pagi diawali dengan kirab gunungan palawija oleh warga menuju tepian Telaga Dondong. Lalu dilanjutkan dengan upacara Adat Merti Telaga Dondong, sebuah tradisi kenduri sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang Pencipta atas sumber mata air.
Kemudian dilanjutkan dengan penanaman pohon di sekitar telaga, larung gunungan ke dalam telaga, hingga puncaknya yaitu prosesi ngedrek: sebuah tradisi unik menginjak-injak dasar telaga untuk memadatkan tanah agar air tidak cepat meresap ke dalam bumi.
Acara ini turut dihadiri oleh Bupati Gunungkidul Endah Subekti Kuntariningsih, Kepala Dinas Kebudayaan (Kundho Kabudayan) DIY, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, Panewu Saptosari, serta seluruh pamong Kalurahan Jetis.
Dalam sambutannya, Bupati Endah menegaskan pentingnya menjaga Telaga Dondong meskipun saat ini sebagian besar warga sudah mengandalkan air dari PDAM.
"Telaga ini adalah tinggalan leluhur panjenengan yang harus tetap dijaga secara bersama sama. Setuju, nggih. Kita harus menjaga telaga ini. Jadi kegiatan ini adalah proses dari pelestarian alam dan tradisi yang harus diwariskan kepada generasi mendatang," kata Bupati.
Inisiasi Komunitas Resan Gunungkidul
Revitalisasi Telaga Dondong bukanlah pekerjaan sehari dua hari. Kepala Dukuh Dondong, Wagirin (47), menjelaskan kepada TIMES Indonesia bahwa sejak sekitar 15 tahun terakhir, kapasitas air Telaga Dondong telah mengalami penurunan secara drastis.
Setiap hujan turun, air yang menggenangi telaga dengan cepat terserap ke dalam tanah.
Pada peringatan HUT RI ke-79 tahun 2024 lalu, lanjut Wagirin, warga Dondong dan Mojosari mengadakan upacara 17 Agustus di Telaga Dondong.
Ratusan warga padukuhan Dondong dan sekitarnya melakukan Edrek di Telaga Dondong, Minggu, 27/4/2025. (Foto: Eko Susanto/TIMES Indonesia)
Momentum ini memunculkan ide untuk menghidupkan kembali telaga. Bersama Komunitas Resan Gunungkidul, sejumlah dosen UGM dan Sanata Dharma, serta komunitas pelestarian lingkungan lainnya, diadakan sarasehan untuk merancang langkah-langkah revitalisasi.
Lebih lanjut Wagirin menuturkan, warga kemudian bergotong-royong mengumpulkan pupuk kompos dan tanah liat yang kemudian ditebar di dasar telaga untuk memperlambat resapan air.
Dukungan datang dari Padukuhan Giriwungu dan Petoyan, yang ikut menyumbang bahan-bahan alami tersebut. Komunitas Resan Gunungkidul turut menggalang donasi guna mewujudkan Festival Telaga sebagai langkah revitalisasi berbasis kearifan lokal.
"Telaga Dondong ini bukan hanya sumber air, tapi juga sumber identitas dan kebanggaan kami. Meski air PDAM sudah masuk, telaga ini tetap harus kami rawat," ujar Wagirin.
Senada dengan Wagirin, Ketua Komunitas Resan Gunungkidul, Edi Padmo, menjelaskan bahwa revitalisasi telaga berbasis kearifan lokal menjadi jawaban atas kondisi geografis Gunungkidul.
"Kami ingin mengembalikan fungsi telaga dengan metode sederhana yang diwariskan leluhur. Penaburan tanah liat dan kotoran ternak bertujuan memadatkan dasar telaga agar air bertahan lebih lama," kata Edi.
Edi juga mengungkapkan bahwa di Gunungkidul terdapat 359 telaga yang saat ini kondisinya sangat kritis dan membutuhkan perhatian lebih. Revitalisasi berbasis budaya lokal ini diharapkan bisa diterapkan di telaga-telaga lain.
Menjaga Warisan di Tanah Karst
Gunungkidul merupakan salah satu kawasan karst terbesar di Indonesia, dengan lanskap perbukitan batu gamping yang terbentuk jutaan tahun lalu. Struktur tanahnya yang berpori membuat air hujan langsung meresap ke dalam tanah dan mengalir melalui jaringan sungai bawah tanah.
Fenomena ini menyebabkan telaga-telaga alami di Gunungkidul sering kali mengering saat musim kemarau tiba. Keterbatasan cadangan air permukaan inilah yang membuat keberadaan telaga sangat vital bagi warga, terutama yang tinggal jauh dari jaringan PDAM.
Prosesi ngedrek menjadi salah satu metode tradisional masyarakat untuk mempertahankan air di telaga. Dengan menginjak-injak dasar telaga, tanah menjadi lebih padat, sehingga memperlambat laju resapan air.
Pada Festival Telaga 2025, ratusan warga termasuk Bupati Gunungkidul turun langsung ke tengah Telaga Dondong untuk mengikuti prosesi ngedrek. Laki-laki, perempuan, hingga anak-anak tampak antusias.
Ada yang membawa serok, jaring, hingga tenggok untuk mencari ikan sambil meramaikan tradisi yang penuh makna ini.
Sorak sorai warga, canda tawa anak-anak, serta kehadiran para pemimpin daerah menambah kemeriahan Festival Telaga 2025 yang sarat akan nilai-nilai tradisi, kebersamaan, dan kecintaan terhadap lingkungan.
Menuju Festival Telaga yang Berkelanjutan
Festival Telaga Gunungkidul 2025 menjadi festival pertama yang diselenggarakan untuk memperingati dan merevitalisasi keberadaan telaga. Edi Padmo berharap kegiatan ini tidak berhenti di Telaga Dondong saja.
"Harapannya, festival ini akan menjadi even tahunan. Setelah ini, biar pemuda Dondong yang melanjutkan Festival Telaga di sini. Komunitas Resan akan bergeser ke telaga lain yang juga butuh perhatian," ujar Edi.
Melalui konsep festival keliling, diharapkan revitalisasi telaga dapat menjangkau lebih banyak wilayah di Gunungkidul. Dengan kolaborasi warga, komunitas, akademisi, dan pemerintah, Festival Telaga dapat menjadi gerakan masif untuk menjaga dan memulihkan sumber-sumber air tradisional yang nyaris punah.
Tidak hanya tentang air, Festival Telaga adalah tentang warisan, tentang hubungan manusia dengan alam, dan tentang bagaimana masa depan Kabupaten Gunungkidul bisa terus mengalir; hidup dan menghidupi, pungkas Edi Padmo. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Festival Telaga 2025, Gotong Royong Revitalisasi Warisan Alam ala Warga Gunungkidul
Pewarta | : Eko Susanto |
Editor | : Ronny Wicaksono |