TIMES CIREBON, CIREBON – Indonesia kembali dilanda musibah berupa bencana alam. Pada Jumat dini hari, 23 Mei 2025 pukul 02.52 WIB, gempa bumi dengan magnitudo 6,3 mengguncang wilayah barat daya Bengkulu.
Menurut informasi dari BMKG, pusat gempa terletak pada koordinat 4,17 Lintang Selatan dan 102,17 Bujur Timur, sekitar 43 kilometer dari Kota Bengkulu, dengan kedalaman 10 kilometer. Meski kekuatannya tergolong signifikan, BMKG memastikan bahwa gempa ini tidak berpotensi menimbulkan tsunami.
Guncangan akibat gempa terasa cukup kuat, khususnya di Kota Bengkulu dan wilayah sekitarnya. Kejadian ini memicu kepanikan di tengah warga yang sebagian besar sedang tidur lelap. Banyak di antara mereka dilaporkan keluar rumah dengan tergesa-gesa untuk menyelamatkan diri dan memastikan keselamatan lingkungan sekitar mereka.
Pertanyaan secara filosofis kenapa hari demi hari bumi ini semakin rentan terjadinya gempa bumi dan tanah longsor? Ada apa dengan bumi pertiwi Indonesia ini. Kemungkinan terjadi gempa disebabkan oleh beberpa hal.
Pertama, Akibat pola perilaku manusia yang eskploitatif, destruktif dan tidak peduli terhadap perut bumi yang berakibat pada lempengan bawah bumi ini berkurang. Ini disebabkan pada cara pandang manusia yang hanya mementingkan manusia.
Pandangan ini jelas akan melahirkan sikap dan perilaku rakus dan tamak yang menyebabkan manusia mengambil semua kebutuhannya. Dari isi perut bumi tanpa mempertimbangkan keseimbangan dan kelestarian. Paradigma manusia yang antroposentrisme ini jelas akan membuat bahaya bagi kelangsungan hidup manusia dan bumi.
Kedua, Keadaan alam yang diolah, pengurasan yang terus menerus terhadap sumber daya alam dan mineral yang semakin menipis, semakin meluasnya penerapan teknologi yang berubah-ubah yang bersifat polutif dan eksploitatif baik di darat, laut dan udara yang menimbulkan suhu bumi makin panas.
Kedua hal tersebut, tidak dapat dilepaskan dari manusia yang menggunakan paradigma shallow ecology, yang mana alam dijadikan sebagai alat atau mesin, yang keberadaaanya untuk melayani kebutuhan manusia. Manusia ada di atas dan di luar alam sebagai sumber nilai. Inilah cara pandang yang perlu dikikis oleh manusia dalam memperlakukan alam dan lingkungan.
Kondisi perut bumi yang semakin memburuk saat ini menuntut pengembangan sikap etis dalam menyikapinya ada fungsi gunung gunung itu diciptakan oleh Tuhan adalah yakni sebagai penyangga bumi. Manusia dituntut untuk memberikan sikap baru kepada bumi yaitu sikap mengurangi manipulasi, ekplorasi, dan eksploitasi yang tidak bertanggung jawab terhadap isi perut bumi. Sikap dan tindakan merusak gunung dan isi perut bumi harus ditinggalkan karena sama dengan membunuh kehidupan manusia.
Karena itu, eksistensi manusia di dunia ini saling terkait dan harus saling memelihara lautan dan bumi secara baik dengan kesadaran bersama, suatu kesatuan integral memberikan pendasaran pemahaman akan arti penting menjaga bumi yang ada di Indonesia. Jika perut bumi ini rusak mengakibatkan manusia menjadikan ikut rusak berarti kehancuran ekologi.
Dengan demikian, Gempa bumi di Bengkulu sejatinya terkait dengan moral dan perilaku manusia dalam memperlakukan alam. Manusia harus memiliki sikap menghormati alam, dengan cara tidak melakukan penebangan pohon secara, membuat penghijauan dilingkungan rumah dan di perkotaan, menyediakan lahan penghijauaan agar nantinya jika terjadi hujan, air dapat menyerap di pohon-pohon. Ini adalah sikap praksis dalam menjaga kelestarian lingkungan bumi.
Di samping itu, manusia harus mampu membatinkan perasaan akan tanggung jawab pada bumi ini. Arne Naess, dalam “Ecology, Community, and Lifestyle”, (1993), mengatakan bahwa manusia saat ini perlu mengedepankan paradigma ecosophy, maksudnya ecosophy adalah manusia harus mampu mengatur kearifan hidup dalam rumah tangga dengan keselarasan alam semesta.
Maka dari itu, manusia menjaga bumi melalui kesadaran solidaritas atas keberadaan alam semesta, dengan cara membersihkan dan menyirami pepohonan setiap hari, melainkan juga turut serta membantu menggalakan gerakan kebersihan di tempat-tempat sungai yang kotor.
Kita harus menyadari bahwa keberadaan perut bumi sama dengan posisi manusia yang juga perlu dirawat dan dipelihara dengan baik. Sehingga dengan adanya bencana alam meletus perlu dijadikan perlu pelajaran berharga oleh kita semua dengan selalu mengedepankan nilai-nilai moralitas terhadap eksistensi bumi dan alam.
Umat manusia bisa tergugah untuk kembali merekonstruksi dan melestarikan kondisi isi perut bumi sekitar kita yang semakin hari demi hari mengalami kehancuran.
Dengan demikian, agar bumi kita yang sudah tua renta dapat terawat dan masih menyegarkan, bahkan kita perlu menggalakan cintai bumi, hindari penebangan hutan secara liar, praktek pengurasan alam berlebihan.
Karena itu, kita sudah seharusnya menyadari akan hal itu semua, sebagai upaya untuk memahami dan menghayati isi bumi, bahwa perut bumi semakin habis karena dikuras oleh kebutuhan manusia yang terlalu berlebihan. Dengan begitu, eksploitasi terhadap sumber daya alam perlu direduksi.
***
*) Oleh : Syahrul Kirom, Dosen Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |