TIMES CIREBON, CIREBON – Di tengah arus globalisasi dan derasnya informasi yang masuk tanpa filter, dunia pendidikan Indonesia menghadapi tantangan serius: bagaimana membentuk generasi muda yang religius seklaigus mampu hidup damai dalam keberagaman.
Salah satu jawaban yang paling relevan untuk tantangan ini adalah moderasi beragama, sebuah konsep yang mengedepankan sikap adil, seimbang, dan toleran dalam menjalankan keyakinan beragama.
Moderasi beragama bukanlah konsep baru, namun relevansinya kian meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama saat gejala intoleransi dan ekstrimisme mulai merambah ruang-ruang sosial, termasuk institusi pendidikan. Dalam konteks inilah, ruang kelas menjadi ruang strategis untuk menanamkan nilai-nilai hidup damai dan toleransi anatar umat beragama.
Secara konseptual, moderasi beragama adalah cara beragama yang menolak segala bentuk ekstrimisme, baik dalam bentuk radikalisme yang keras maupun liberalisme yang lepas dari nilai-nilai dasar agama.
Moderasi beragama menekankan empat pilar utama: tawasuth (tengah-tengah), tasamuh (toleransi), i’tidal (asil), dan tawazun (seimbang). Dengan mengedepankan prinsip-prinsip ini, seseorang dapat beragama dengan penuh keyakinan tanpa harus merendahkan, mencurigai, atau bahkan memusuhi pemeluk agama lain.
Namun, moderasi beragama tidak cukup hanya dipahami sebagai doktrin. Ia harus dipelajari secara mendalam dan dihidupkan melalui praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari, dan pendidikan adalah jembatan utama menuju pemahaman itu.
Di sinilah pentingnya transformasi moderasi beragama dalam dunia pendidikan, mulai dari kurikulum, metode pembelajaran, hingga sikap dan keteladanan guru.
Menurut Suwendi, lembaga pendidikan harus memperkuat komitmen mereka terhadap pendidikan multikultural, menghadirkan pendekatan alternatif dengan menggunakan strategi dan prinsip-prinsip pendidikan yang berakar pada pemanfaatan beragam elemen yang ada di masyarakat.
Keragaman ini mencakup aspek-aspek seperti etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, dan banyak lagi. Semua pihak yang terlibat dalam lembaga pendidikan harus percaya akan pentingnya tidak hanya mengakui tetapi juga benar-benar menghormati dan menjunjung tinggi keragaman baik dalam perkataan maupun tindakan.
Transformasi nilai-nilai moderasi beragama ke dalam sistem pendidikan nasional perlu dilakukan secar sistematis. Hal ini dapat dimulai dari:
Pertama, integrasi dalam kurikulum, melalui pembelajaran Pendidikan Agama dan Kewarganegaraan yang berbasis pada dialog, pemahaman lintas budaya, serta penguatan karakter kebangsaan.
Menurut Suwendi, moderasi beragama juga dapat diperkuat dengan sirah Nabawiyah, dimana pembelajarannya diintegrasikan dengan sejarah hidup Nabi Muhammad SAW. Sejarah Nabi sangat baik untuk dijadikan sebagai bahan pembelajaran, bagaimana toleransi, moderasi, dan sikap Nabi dalam menghadapi umat selain Islam.
Kedua, penguatan kompetensi guru agar tidak hanya menguasai materi ajar secara tekstual, tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan kemampuan memfasilitasi diskusi yang inklusif. Berkaitan dengan kompetensi guru, Suwendi menyatakan bahwa setidaknya ada empat peran penting bagi guru dalam meningkatkan kemampuan moderasi beragama peserta didik.
Seorang guru harus bersikap demokratis baik dalam perkataan maupun tindakan, yang tidak diskriminatif. Selain itu guru juga harus memiliki kepedulian dan kepekaan yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang berkaitan dengan agama.
Selain itu, mereka harus memiliki pengetahuan yang luas dan sikap yang bijak dalam menanggapi pertanyaan peserta didik agar tidak terkesan berat sebelah atau mendiskreditkan pihak lain.
Guru harus memahami dan mampu menjelaskan bahwa esensi dari ajaran agama adalah untuk menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Guru harus mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan keragaman budaya, etnis, dan agama.
Ketiga, penciptaan budaya sekolah yang toleran, di mana siswa terbiasa hidup berdampingan dengan teman yang berbeda keyakinan tanpa prasangka.
Keempat, kegiatan ekstra kurikuler kolaboratif yang melibatkan siswa dari berbagai latar belakang untuk bekerja sama dalam proyek sosial, seni, dan budaya.
Misalnya, dalam pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), guru dapat mengajak siswa untuk berdiskusi tentang bagaimana Islam mengajarkan rahmat bagi seluruh alam, serta bagaimana prinsip keadilan dan kasih sayang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk terhadap Non Muslim. Pelajaran agama tidak lagi bersifat dogmatis, melainkan membuka ruang reflektif dan dialogis.
Ruang kelas bukan hanya tempat transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga miniatur masyarakat, di sinilah peserta didik pertama kali belajar tentang keragaman, interaksi sosial, dan bagaimana menyikapi perbedaan. Oleh karena itu, penting bagi guru dan sekolah untuk tidak hanya mengajarkan “apa yang benar”, tetapi juga bagaimana menyikapi “perbedaan dalam kebenaran.”
Tanpa pembelajaran nilai-nilai moderasi sejak dini, peserta didik beresiko terpapar oleh narasi-narasi intoleran, baik secara langsung maupun lewat media sosial. Kita tentu tidak ingin ruang kelas justru menjadi tempat tumbuhnya benih eksklusivisme, apalagi radikalisme. Pendidikan seharusnya membebaskan manusia dari kebodohan dan kekerasan, bukan sebaliknya.
Sudah saatnya kita menyadari bahwa moderasi beragama bukan pilihan opsional, tetapi kebutuhan mendesak. Pendidikan harus memainkan peran kunci dalam membentuk generasi yang religius sekaligus inklusif.
Moderasi beragama harus dijadikan budaya, bukan sekedar wcana, ia harus ditanamkan, dilatih, dan diteladankan, dimulai dari ruang kelas, dari guru, dari sistem yang kita bangun bersama.
Dengan demikian ruang kelas sebagai ruang damai, kita sedang menanam benih toleransi dan keberagaman yang kelak akan tumbuh menjadi pohon perdamaian di tengah masyarakat. Sebab, anak-anak yang hari ini belajar hidup damai di sekolah adalah pemimpin masa depan yang akan menjaga keutuhan bangsa ini.
***
*) Oleh : Linda Widayanti, S.Pd.I., Mahasiswa S2 PJJ PAI UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |