https://cirebon.times.co.id/
Opini

Musibah Sumatera dan Tanggung Jawab Bersama sebagai Bangsa

Minggu, 07 Desember 2025 - 21:17
Musibah Sumatera dan Tanggung Jawab Bersama sebagai Bangsa Rijal Mahdi, Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon.

TIMES CIREBON, CIREBON – Musibah besar yang menimpa rakyat Indonesia di wilayah Sumatera bukan hanya peristiwa alam biasa. Intensitas dan dampaknya yang luar biasa telah menghancurkan kehidupan ribuan keluarga, merusak infrastruktur, dan meninggalkan duka mendalam di seluruh negeri. 

Namun, di balik bencana fisik itu, ada pesan teologis yang jauh lebih halus tetapi sangat mendesak untuk direnungkan: bahwa musibah adalah panggilan untuk introspeksi, baik pada tingkat pribadi maupun sebagai komunitas bangsa yang memiliki tanggung jawab bersama terhadap bumi dan kehidupan sosial.

Pesan ini selarah dengan ayat Al-Qur’an yang menjadi pijakan khutbah Jumat di Masjid Al-Muhajirin, Cirebon, pada 5 Desember 2025: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy-Syura: 30). 

Ali bin Abi Thalib memandang ayat ini sebagai ayat paling mulia dalam Al-Qur’an karena mengandung kasih sayang Allah yang begitu luas: musibah tidak semata hukuman, tetapi kesempatan untuk kembali, belajar, dan memperbaiki.

Dalam tradisi Islam, musibah bukan berarti Tuhan sedang murka. Musibah adalah ruang pendidikan ilahi. Ia dapat menjadi imtihan ujian keimanan, kedewasaan moral, serta tanggung jawab manusia terhadap diri sendiri dan terhadap komunitasnya. 

Ketika Allah menegaskan bahwa musibah terjadi karena “perbuatan tanganmu sendiri”, itu bukan sekadar merujuk pada tindakan fisik individual, melainkan pada penggunaan kapasitas, kuasa, dan wewenang kita sebagai manusia. 

Pertanyaannya menjadi sangat penting: sejauh mana kita telah menggunakan kemampuan dan posisi kita untuk menjaga bumi, membangun masyarakat yang tangguh, dan memastikan kebijakan publik berjalan untuk kemaslahatan?

Ayat itu kemudian ditutup dengan frasa yang sangat lembut: “Allah memaafkan sebagian besar.” Artinya, Allah telah menetapkan sistem rahmat yang luar biasa sebagian dosa umat dibersihkan melalui musibah di dunia, dan sebagian lainnya akan diberi ampunan di akhirat. 

Hadits riwayat Abu Salamah dari Ali bin Abi Thalib menegaskan: “Apa yang Allah maafkan di dunia lebih mulia daripada menimpanya di akhirat, dan apa yang Allah timpakan di dunia lebih mulia daripada menimpanya kelak di akhirat.” Maka di balik musibah, ada kesempatan penyucian dan penebusan. Rasa sakit tidak hadir untuk menenggelamkan manusia, tetapi untuk membangunkannya.

Dari sinilah introspeksi pribadi menjadi keharusan moral. Setiap warga negara perlu bertanya dengan jujur: apakah saya telah berkontribusi pada kerusakan lingkungan yang menyebabkan bencana? Kita sering memandang deforestasi, banjir, atau longsor sebagai isu struktural, tetapi lupa bahwa setiap manusia memiliki jejak ekologis yang meninggalkan dampak. 

Setiap pola konsumsi, setiap gaya hidup, setiap pilihan atas kenyamanan, sedikit banyak membentuk lanskap ekologis negara. Kita juga perlu bertanya: apakah saya pernah mengabaikan peringatan bencana? Apakah saya sudah menyiapkan diri dan keluarga menghadapi ancaman bencana? Dan lebih jauh: apakah kapasitas dan privilese yang saya miliki sudah saya gunakan untuk membantu mereka yang lebih rentan?

Namun introspeksi tidak berhenti pada diri individu. Dimensi yang jauh lebih penting adalah introspeksi komunal. Bencana ekologis di Sumatera bukan sekadar peristiwa meteorologis; ia menunjukkan adanya masalah serius dalam kebijakan pembangunan, tata ruang, perlindungan lingkungan, dan mitigasi bencana. 

Banyak wilayah rawan bencana terus dibangun tanpa persiapan infrastruktur yang memadai. Reforestasi dan konservasi lingkungan lebih sering menjadi slogan formal daripada program nyata. Sistem peringatan dini, pendidikan mitigasi risiko, standar bangunan tahan bencana, hingga kesiapsiagaan fasilitas kesehatan masih tertinggal jauh dari kebutuhan masyarakat.

Ketika kita membaca data BNPB 836 korban meninggal, 509 orang hilang, 582.500 pengungsi, 10.500 rumah rusak, 295 hingga 299 jembatan putus, lebih dari seratus fasilitas ibadah hancur, ratusan sekolah berhenti beroperasi, sembilan hingga dua puluh lima fasilitas kesehatan rusak, dan kerugian infrastruktur mencapai Rp 1,1 triliun, kita diingatkan bahwa musibah bukan sekadar angka statistik. 

Setiap angka adalah keluarga, anak, orang tua, kenangan, harapan, dan masa depan yang runtuh. Ketika bencana menutup sekolah, ribuan mimpi terhenti. Ketika jembatan putus, ribuan keluarga terpisah dari akses hidup. Ketika rumah sakit rusak, hak atas penyelamatan jiwa ikut menjadi korban.

Pada titik ini, pesan teologis ayat Asy-Syura berubah menjadi ajakan praktis yang konkret: apakah kita akan membiarkan tragedi ini berlalu tanpa perubahan? Apakah kita akan puas dengan ratapan sementara, lalu kembali pada kebiasaan lama sampai bencana berikutnya menampar negeri ini? Atau justru musibah ini kita jadikan titik balik untuk membangun kebijakan yang lebih ekologis, pembangunan yang lebih berkelanjutan, mitigasi bencana yang komprehensif, dan masyarakat yang lebih peduli satu sama lain?

Musibah Sumatera adalah duka nasional, tetapi juga undangan untuk transformasi nasional. Jika musibah dunia dapat menjadi penggugur dosa, seperti yang disampaikan Rasulullah, maka cara kita menyikapi musibahlah yang menentukan nilainya. Bencana bisa menjadi azab jika kita mengabaikannya, namun bisa menjadi rahmat jika kita belajar dan memperbaiki diri.

Kini pilihan ada pada kita sebagai warga bangsa: apakah kita ingin tetap menjadi masyarakat yang reaktif, yang hanya mengingat Tuhan dan lingkungan setelah bencana; atau masyarakat yang proaktif, yang menjadikan musibah sebagai momentum perubahan menuju Indonesia yang lebih aman, lebih ramah lingkungan, dan lebih bermartabat? Musibah yang paling mengerikan bukanlah bencana alam melainkan ketika sebuah bangsa menolak belajar dari bencana.

***

*) Oleh : Rijal Mahdi, Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Cirebon just now

Welcome to TIMES Cirebon

TIMES Cirebon is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.