TIMES CIREBON, CIREBON – Kehidupan tidak pernah berjalan mulus tanpa gelombang. Setiap manusia, pada titik tertentu, akan berhadapan dengan peristiwa yang mengguncang; kehilangan orang tercinta, bencana alam, kegagalan yang mematahkan harapan, atau kesedihan yang datang tanpa permisi.
Ujian-ujian ini sering terasa sangat pribadi, sangat melekat pada diri masing-masing. Namun sesungguhnya, pengalaman-pengalaman itu adalah bagian dari pergulatan bersama sebagai manusia yang saling membutuhkan.
Di tengah kepedihan, kita menemukan ruang untuk saling menguatkan, membangun empati, dan merajut kembali kebersamaan yang mengokohkan kita sebagai bangsa dan sebagai manusia.
Dalam tradisi Islam, pergulatan ini tidak dipandang sekadar sebagai peristiwa emosional, melainkan sebagai jalan untuk menemukan pemahaman spiritual yang lebih dalam. Ibn Qayyim al-Jauziyyah melalui karyanya Zād al-Ma'ād sebuah karya yang telah menjadi rujukan lintas generasi menegaskan bahwa setiap kesulitan mengandung hikmah yang menuntun hati menuju ketenangan.
Musibah, menurut beliau, bukan hanya ujian, tetapi undangan untuk kembali memahami diri, memahami Tuhan, dan memahami batas kepemilikan kita atas segala yang kita genggam.
Al-Qur’an memberikan pijakan spiritual yang kuat ketika musibah menghampiri: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya kami akan kembali.” Kalimat ini terdengar sederhana, tetapi menyimpan kedalaman makna yang tak terbandingkan.
Ia bukan ucapan penghibur, melainkan pernyataan iman yang menghadirkan kekuatan batin. Ia menegaskan bahwa apa pun yang hilang darimu sejatinya bukan milikmu sepenuhnya. Ia milik Allah, pemilik mutlak segalanya.
Rasulullah SAW juga mengajarkan doa yang menjadi penopang hati ketika kesulitan datang. Beliau menjelaskan bahwa siapa pun yang memohon pahala atas musibahnya dan meminta penggantian yang lebih baik, maka Allah akan mengabulkannya.
Doa itu menjadi oase bagi hati yang lelah, sekaligus mengajarkan bahwa Tuhan tidak hanya mengambil, tetapi juga menyiapkan bentuk kebaikan lain yang mungkin belum kita pahami sekarang.
Kesadaran bahwa segala sesuatu adalah milik Allah adalah pondasi ketenangan. Diri kita, keluarga, orang-orang yang kita cintai, harta benda, jabatan, dan keberhasilan semuanya hanyalah titipan.
Kita menjaganya sebentar, lalu pada waktunya Allah mengambil kembali. Seperti pemilik sah yang meminjamkan barang lalu mengambilnya, tidak ada yang dapat kita klaim sebagai milik pribadi yang abadi.
Kita tidak menciptakan apa pun dari ketiadaan, kita tidak mampu mempertahankan apa pun dari kehancuran tanpa izin-Nya. Maka, kepemilikan sejati hanyalah milik Allah; kita hanya memegang pinjaman sementara.
Kesadaran lainnya adalah bahwa tujuan akhir manusia adalah kembali kepada-Nya. Kita datang ke dunia tanpa apa-apa, dan kita meninggalkannya tanpa membawa apa pun kecuali catatan amal.
Jika awal dan akhir kita demikian sederhana, mengapa kita larut terlalu dalam pada sesuatu yang fana? Mengapa terlalu bahagia atas yang dimiliki, atau terlalu hancur atas yang hilang, padahal keduanya tidak pernah benar-benar menjadi milik kita? Merenungkan ini adalah terapi yang paling kuat untuk menyembuhkan luka akibat musibah.
Dalam menghadapi kesedihan, ada beberapa sikap batin yang menjadi resep ketenangan. Pertama, menyadari bahwa apa pun yang menimpa kita adalah sesuatu yang memang telah ditetapkan. Tidak ada musibah yang “salah alamat”, dan tidak ada nikmat yang terlepas dari ketentuan-Nya.
Al-Qur’an mengingatkan bahwa segala sesuatu telah ditetapkan di Lauh Mahfuzh sebelum terjadi. Dengan pemahaman ini, seseorang tidak akan terlalu bersedih atas kehilangan dan tidak terlalu gembira atas yang diperoleh.
Kedua, menyadari bahwa dalam setiap ujian, Allah tetap memberi nikmat lain yang mungkin jauh lebih besar. Bisa jadi, apa yang diambil hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan karunia. Dan bagi mereka yang bersabar, pahala yang Allah janjikan jauh lebih berharga daripada apa pun yang hilang.
Bahkan, musibah yang datang bisa saja lebih besar andai Allah menghendaki. Dengan cara inilah Allah mendidik hamba-hamba-Nya agar lebih kuat dan lebih dekat kepada-Nya.
Ketiga, melihat kenyataan bahwa setiap manusia memiliki ujiannya sendiri. Tidak ada kehidupan yang sepenuhnya steril dari kesedihan. Ketika kita menengok kiri dan kanan, kita melihat orang-orang yang menanggung beban yang mungkin lebih berat.
Dari situ kita belajar bahwa ujian adalah sunnatullah dalam kehidupan, sebuah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari dinamika pertumbuhan iman dan kedewasaan.
Para ulama salaf sering mengingatkan bahwa kebahagiaan dunia sangat rapuh. Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa “setiap kegembiraan pasti diikuti kesedihan”, sedangkan Ibnu Sirin menyebut bahwa “tawa dunia selalu diiringi tangis setelahnya.”
Bahkan Hind binti Nu’man mengisahkan bagaimana hidupnya bisa berubah dari puncak kebahagiaan menjadi kehancuran dalam sekejap. Dunia memang seperti bayang-bayang: ia terlihat dekat namun tidak pernah bisa digenggam.
Musibah bukan datang untuk menghancurkan, tetapi untuk memperkuat. Ia tidak dihadirkan untuk membuat kita putus asa, tetapi untuk mendorong kita semakin dekat kepada Tuhan. Di balik setiap kesulitan ada ruang untuk menjadi lebih kuat, lebih lembut, lebih bijaksana. Dan di balik setiap kehilangan, selalu ada hikmah yang menunggu untuk ditemukan.
Ketenangan sejati bukan terletak pada hilangnya cobaan, tetapi pada kemampuan hati menerima takdir dengan lapang. Semoga kita semua diberi kekuatan untuk menghadapi setiap ujian dengan kesabaran, keikhlasan, dan keyakinan bahwa Allah tidak pernah mengambil sesuatu kecuali Ia menyiapkan penggantinya entah berupa kebaikan di dunia, ketenangan batin, atau pahala abadi di akhirat. Dengan kesadaran ini, kita tidak hanya mampu bertahan dalam badai kehidupan, tetapi juga tumbuh lebih kuat setelahnya. (*)
***
*) Oleh : Rijal Mahdi, Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |